Background

Melodian Lapuk Masih Bernada



Melodian Lapuk Masih Bernada . .

            Gitar tua , instrumen berdawai. Menciptakan seribu nada dengan bahasanya sendiri. Membuka memori kawan-kawan kusamku dengan petikan-petikan melodian. Menyelaraskan hidup dengan irama dan tempo hangat.
            Sosoknya telah mampu membuka jati diriku yang sebenarnya. Aku ini seorang gitaris tapi hanya setingkat standar. Jadi hidupku tak lepas dari gitar tua,ubanan, dan berlapuk. Namun, anehnya gitarku ini masih saja dapat berteriak lantang, meskipun aku malas merawatnya.
            Gitar yang berjenggot putih itu adalah guru yang mengajari jari-jari polosku menjadi dewasa dan semakin kuat. Tapi tak lepas dari gitar tuaku ini, adalagi sosok pahlawanku yang mengajari bangkit menjadi satria bergitar yaitu kawan-kawan kusamku. Berawal dari perkumpulan anak-anak rumah, merekalah yang terlebih dahulu mempunyai jiwa musik kental sebelum aku. Rupanya mereka mencintai solidaritas, kebersamaan, dan kesederhanaan. Dengan iming-iming begitu, hasratku tersentak untuk ingin memiliki jiwa pentatonik dan diatonik seperti mereka. Aku segera meminta teman-teman untuk mengajariku bagaimana cara menjinakkan alat berdawai itu dengan lihai. Ingin tahu bagaimana bergumul dengan nada C sampai B.
            Tak lama kemudian aku membeli gitar yang sekarang menjadi melodian lapukku, dengan uang sakuku sendiri selama sebulan. Kembali lagi dengan kawan-kawan kusamku, mereka hampir setiap hari berkumpul dengan sejuta warna. Mereka adalah kalangan ortodidak. Mampu bermain musik yang selaras dengan irama layaknya mereka sedang menyelaraskan hidupnya sendiri. Tanpa butuh kursus, mereka bisa mendongengkan berbagai instrumen tajam. Hukumnya adalah turun temurun. Semakin berkembang dari berbagai pergantian generasi. Entah itu karena faktor lingkungan, talenta, atau hobi. Nyatanya, dari generasi om-om kami sampai generasiku sekarang, semuanya bisa bermain musik. Mereka semua pandai menciptakan aransemen apik, tapi lebih dalamnya lagi mereka juga pandai merangkai kenangan. Membangun pengalaman diantara canda dan duka. Mereka memang mampu mengajariku bagaimana meredam sikap egois atau individualisme antar personil agar band tetap utuh. Tapi diatas tabir, mereka sendiri tak bisa bersatu sekarang. Memecah belah seperti kepingan kaca. Entah karena masalah pekerjaan, keluarga, atau seonggok alibi lainnya. Merekalah yang juga menumbuhkan karya didalam sejuta inspirasiku, yang sampai saat ini aku lahir dan berdiri sebagai satria bergitar.
            Aku disini bukan semata-mata aku yang hebat, tapi mereka yang hebat. Aku bukan tipe orang yang seperti kacang lupa kulitnya.
            Saat ini aku tak tahu dimana saja mereka. Semoga saja Tuhan mau mengumpulkan kami satu persatu. Aku rindu keharmonisan kami tercipta lagi seperti sediakala, seperti kami mampu menciptakan nada-nada yang harmonis, seperti kami mampu memukul perkusi dan berjalan diatas dawai. Mereka hanya meninggalkan kitab yang isinya adalah doktrin-doktrin tentang macam-macam suara dalam tabung kayu. Hanya mereka lah yang berjasa dibalik jati diriku sebagai satria bergitar. Mereka jugalah sang melodian lapukku.
            Sekarang ini, yang mampu menemaniku adalah gitar akustik berdawai, yang sudah tua, sudah membusuk, namun masih bisa berkarya. Setiap malam kelabu, gitar ini menjadi teman sebangkuku bersama secangkir kopi berasap. Hasilnya, semua itu hanya menambah suasana menjadi beralun seperti lirik-lirik tolol kesedihan. Tiba-tiba suasana hening menghantarkanku dalam memori masa lampau, dan mata tertuju pada stiker-stiker yang melekat erat pada gitar tuaku. Mengingat alat perekat itu adalah simbol nama band kami dahulu. Sungguh, nurani ini murung saat menengok masa lampau itu lagi. Setelah itu aku berlamun pada gitar tua ini “lihatlah kawan kusam kita” , dan sejenak gitar berjenggot ini menjawab “mimpi yang sebenarnya adalah melihat kedepan,bukan ke belakang”. Dengan ajaran seperti itu aku mencoba tetap hidup dengan pendirianku, aku harus mampu memanfaatkan ilmu yang mereka bagi. Dan aku juga harus mampu menjadi arsitek aransemen terbaik tanpa kenal musim. Apa bukti keberhasilan mereka jika tidak melalui aku sekarang. Seperti mereka pernah katakan “jangan jadikan karyamu hanya terkenal saja, tapi jadikan karyamu terkenang di segala musim” .
Tak bisa dipungkiri, semua karya aransemenku adalah hasil persilangan gitar berjenggot putih milikku dan semua kawan kusamku. Tak terasa episode terakhir datang. Nafas terakhirku berpamitan terima kasih pada gitar ini dan kawan-kawanku yang sekarang lapuk. Kemarin, sekarang, besok, dan selamanya kalian masih bernada dibalik jati diriku ini.  Thanks




amanat singkat :
- jangan seperti kacang lupa kulitnya


Petrus Bima A
Inspirated by :  DMC

Categories: Share

1 komentar: